Etnosentrisme, Berprasangka, & Diskriminasi
Masyarakat Indonesia yang majemuk yang terdiri dari berbagai budaya, karena adanya berbagai kegiatan dan pranata khusus dimana setiap kultur merupakan sumber nilai yang memungkinkan terpeliharanya kondisi kemapanan dalam kehidupan masyarakatta pendukungnya, setiap masyarakat pendukung kebudayaan (culture bearers) cenderung menjadikan kebudayaannya sebagai kerangka acuan bagi perikehidupannya yang sekaligus untuk mengukuhkan jati diri sebagai kebersamaan yang berciri khas (Fuad Hassan, 1998).
Masalah yang biasanya dihadapi oleh masyarakat majemuk adalah adanya persentuhan dan saling hubungan antara kebudayaan suku bangsa dengan kebudayaan umum lokal, dan dengan kebudayaan nasional. Diantara hubungan-hubungan ini yang paling kritis adalah hubungan antara kebudayaan suku bangsa dan umum local di satu pihak dan kebudayaan nasional di pihak lain. Pemaksaan untuk merubah tata nilai atau upaya penyeragaman budaya seringkali dapat memperkuat penolakan dari budaya-budaya daerah, atau yang lebih parah bila upaya mempertahankan tersebut, justru disertai dengan semakin menguatnya Etnosentrime (Purwanti).
Etnosentrime
Etnosentrisme secara formal didefinisikan sebagai pandangan bahwa kelompok sendiri adalah pusat segalanya dan kelompok lain akan selalu dibandingkan dan dinilai sesuai dengan standar kelmok sendiri. Etnosentrisme membuat kebudayaan diri sebagai patokan dalam mengukur baik buruknya, atau tinggi rendahnya dan benar atau ganjilnya kebudayaan lain dalam proporsi kemiripannya dengan kebudayaan sendiri, adanya. kesetiakawanan yang kuat dan tanpa kritik pada kelompok etnis atau bangsa sendiri disertai dengan prasangka terhadap kelompok etnis dan bangsa yang lain.
Orang-orang yang berkepribadian etnosentris cenderung berasal dari kelompok masyarakat yang mempunyai banyak keterbatasan baik dalam pengetahuan, pengalaman, maupun komunikasi, sehingga sangat mudah terprofokasi. Sebagian besar masyarakat Indonesia masih berada pada berbagai keterbatasan tersebut. (Budiono Kusumohamodjojo, 2000)
Berprasangka
Salah satu yang membuat sengsara hidup ini adalah kegagalan kita untuk berprasangka baik. Jika hal itu terjadi, kita akan sibuk aja memikirkan orang lain, mencari-cari kesalahannya. Bahkan, jika tidak berhati-hati akan tejerumus dalam ghibah dan fitnah.
Maka, penting bagi diri kita untuk selalu melatih diri agar selalu berprasangka baik di setiap kejadian. Berprasangka baik di setiap kejadian kita tujukan kepada Allah, Sang Pembuat Skenario Terbaik, dan juga kepada manusia. Prasangka baik pada Allah bagian dari Aqidah & kepada manusia lain bagian dari Akhlak Karimah.
Bahan bakar prasangka baik adalah YAKIN tidak ada kejadian yg terjadi tanpa ijin Tuhan. Padahal kita tahu, Dialah yang terbaik mengetahui kebutuhan kita. Jadi, dapat dipastikan setiap kejadian yang hadapi pasti “fit” dengan kebutuhan kita saat itu. Dengan keyakinan itu energi kita untuk terus berprasangka baik tidak akan pernah habis.
Maka, berlatih berprasangka baik dapat diawali dengan membiasakan berdialog dengan Tuhan Sang Penguasa Kejadian. Melihat dan mendengar apapun, sertailah dialog dengan Yang Maha Kuasa. Membentur sebuah masalah, curhatlah hanya kepada Yang Maha Mendengar. Jika setiap detik kita sedang dalam keadaan berdialog padanya, maka secara refleks reaksi pertama kita di tiap kejadian adalah “Allah”. Jika sudah demikian, akan lebih mudah bagi kita utk kemudian mengatur prasangka baik kepada Tuhan maupun kepada manusia lainnya.
Diskriminasi
Diskriminasi merujuk kepada pelayanan yang tidak adil terhadap individu tertentu, di mana layanan ini dibuat berdasarkan karakteristik yang diwakili oleh individu tersebut. Diskriminasi merupakan suatu kejadian yang biasa dijumpai dalam masyarakat manusia, ini disebabkan karena kecenderungan manusian untuk membeda-bedakan yang lain.
Ketika seseorang diperlakukan secara tidak adil karena karakteristik suku, antargolongan, kelamin, ras, agama dan kepercayaan, aliran politik, kondisi fisik atau karateristik lain yang diduga merupakan dasar dari tindakan diskriminasi
- Diskriminasi langsung, terjadi saat hukum, peraturan atau kebijakan jelas-jelas menyebutkan karakteristik tertentu, seperti jenis kelamin, ras, dan sebagainya, dan menghambat adanya peluang yang sama.
- Diskriminasi tidak langsung, terjadi saat peraturan yang bersifat netral menjadi diskriminatif saat diterapkan di lapangan.
Sumber :
Komentar