Hukum Perburuhan
HUKUM PERBURUHAN
HUKUM PERBURUHAN MENURUT UU NO. 12 TAHUN 1948 TENTANG KRITERIA STATUS DAN PERLINDUNGAN BURUH
Undang-undang ini menjelaskan tentang aturan-aturan
terhadap pekerja buruh dalam hal persyaratan untuk menjadi seorang buruh,
pengaturan jam kerja dan jam istirahat, pemberian upah, perlindungan terhadap
buruh perempuan, tempat kerja dan perumahan buruh, tanggung jawab, pengusutan
pelanggaran, dan aturan tambahan. Undang-undang ini berfungsi untuk melindungi
buruh dari hal-hal yang tidak diharapkan.
CONTOH STUDI KASUS : MARSINAH
Sembilan tahun yang lalu, pada 9 Mei 1993, jasad Marsinah ditemukan
tergeletak di sebuah gubuk berdinding terbuka di pinggir sawah dekat
hutan jati, di dusun Jegong, desa Wilangan, kabupaten Nganjuk, lebih
seratus kilometer dari pondokannya di pemukiman buruh desa Siring,
Porong. Jasad Marsinah ditemukan setelah hilang pada tanggal 5 Mei 1993.
Jasadnya ditemukan setelah Marsinah terlibat aktif dalam pemogokan
buruh PT Catur Putra Surya. Jasad Marsinah ditemukan setelah dia marah
kepada Kodim Sidoarjo karena telah menangkap 13 teman Marsinah dan
ditekan secara fisik dan psikologis dan dipaksa menandatangi surat PHK.
Marsinah adalah gambaran perempuan buruh korban kekejaman kapitalisme
dan patriarki yang termanifestasi pada kolaborasi antara pengusaha dan
tentara. Kolaborasi antara pengusaha dan tentara bukan hal yang aneh,
karena dalam konsep negara/pemerintah yang berpihak pada modal maka
tentara akan selalu dibutuhkan dan digunakan untuk menjaga alat-alat
produksi milik pemodal.
Pemerintah Orde Baru berupaya membuat pengadilan untuk menyelesaikan
kasus pembunuhan Marsinah tetapi itu hanyalah drama bohong belaka,
karena peradilan pada masa Orde Baru tersebut menutup-nutupi
keterlibatan tentara (pada waktu itu ABRI).
Tubuh Marsinah ditemukan dalam keadaan penuh luka, pergelangan
tangannya lecet bekas ikatan, tulang selangkangan dan vagina hancur
(dari berbagai sumber). Kalau melihat kondisi tersebut sudah hampir
dipastikan bahwa Marsinah selain mengalami kekerasan fisik juga
mengalami kekerasan seksual.
Kini setelah 14 tahun reformasi, 19 tahun kematian Marsinah belum
titik terang akan keberlanjutan untuk menyelesaikan kasus ini. Sudah
sebanyak 3 kali makam Marsinah dibongkar dan Tim Pencari Fakta dibentuk
untuk kebutuhan penyelidikan. Bahkan, pada tahun 2002 Komnas HAM
berupaya untuk membuka kembali kasus Marsinah dan itu pun gagal menguak
kembali pembunuh sebenarnya dalam kasus Marsinah.
Segala upaya yang dilakukan gagal karena setiap pemerintahan dalam
era Reformasi tidak punya kemauan serius untuk menyelesaikan kasus
pembunuhan Marsinah. Janji-janji untuk menyelesaikan kasus Marsinah
dalam setiap pemilu hanya menjadi isapan jempol belaka.Anehnya, pihak Kodim kemudian menangkap, menyiksa, dan menjatuhkan vonis
terhadap sejumlah management PT Catur Putra Surya dan seorang di
antaranya dalam keadaan hamil muda, atas tuduhan telah membunuh
Marsinah. Pada tahun 1993, dibentuk Komite Solidaritas Untuk Marsinah
(KSUM) yang didirikan oleh beberapa LSM dan serikat buruh untuk
menginvestigasi dan mengadvokasi pembunuhan Marsinah oleh Aparat
Militer. Sampai saat ini matinya Marsinah merupakan peristiwa gelap yang
belum dapat diketahui siapa pelaku pembunuhnya. Runyamnya, pada tahun 2012 ini kasus Marsinah akan ditutup karena dianggap telah mencapai batas waktu peradilan.
Hukum Perburuhan
UU Perburuhan No.12 Th 1964 tentang PHK
Hukum Perburuhan
Buruh
adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk
lain. Hukum
Perburuhan adalah suatu instrument hukum yang melindungi pemberi kerja dan
penerima kerja.
No. 12 Th. 1964 tentang PHK
PHK
hanya dapat dilakukan bila kaidah-kaidah yang terdapat dalam undang-undang
dilanggar.
Undang-undang ini membahas tentang PHK, yang dilakukan oleh pengusaha agar
pengusaha tidak memeberhentikan pekerja secara sepihak dengan alasan-alasan
yang tidak sewajarnya.
Di dalam UU ini terdapat hal-hal yang tidak dapat dijadikan sebagai alasan
untuk pemutusan hubungan kerja, pegawai-pegawai yang berhak mendapatkan PHK,
pengajuan surat PHK oleh pengusaha kepada Panitia Daerah, pesangon dan
tunjangan.
Contoh Kasus :
“Niatan
untuk mem-PHK aku, sudah dia sampaikan sekitar bulan April (usia kandungan 4
bulan). Alasan beliau, kalau melahirkan nanti aku akan sibuk mengurusi bayi.
Baginya, itu kerugian karena aku dianggapnya tidak akan mampu bekerja secara
penuh,” jelas Naning dalam siaran pers pada, Rabu (17/8) lalu.
Pada 3
Agustus 2011, niat itu benar-benar dilaksanakan. Naning menilai PHK yang
dilakukan oleh Itet ini merupakan wujud dari tindakan diskriminasi terhadap
pekerja perempuan. Sebagai anggota DPR (mantan Anggota Komisi IX yang
membidangi masalah ketenagakerjaan) seharusnya Itet dapat berperilaku adil
terhadap pekerja perempuan.
“Ibu
Itet lebih memilih mem-PHK pekerja perempuan yang hamil dan menggantinya dengan
pekerja laki-laki,” tuturnya.
Padahal,
lanjutnya, UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menjamin hak pekerja
perempuan ketika dalam keadaan hamil. Pasal 153 ayat (1) huruf e menyatakan ‘Pengusaha
dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan: pekerja/buruh
perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya’.
Naning
juga menuturkan alasan lain Itet memecat dirinya karena berpegang pada
ketentuan Setjen DPR RI bahwa staf ahli setiap saat bersedia di-PHK bila
anggota dewan menghendaki. Ia menilai peraturan ini jelas-jelas melanggar
aturan UU Ketenagakerjaan. Ia berharap ke depan UU Ketenagakerjaan bisa
ditegakan di Gedung DPR.
“Saya
memperjuangkan agar aturan Setjen DPR RI berkaitan dengan pekerja (asisten
pribadi, tenaga ahli) lebih menghormati UU dan peraturan yang berlaku di RI.
Peraturan Setjen DPR RI tidak mencantumkan hak normatif pekerja karena tidak
memuat ketentuan THR, PHK, jam kerja, lembur, cuti, libur, pesangon, jaminan
sosial,” sebutnya.
Sementara,
Itet mengaku sebelum mem-PHK Naning lebih dahulu berkonsultasi kepada Setjen
DPR. “Pada 3 Agustus, Staf saya melakukan konsultasi ke Biro Hukum DPR RI
ditemui oleh Bapak Jhonson Rajagukguk. Menurut beliau aturan yang disampaikan
sesuai UU Tenaga Kerja tidak bisa disamakan kedudukannya dengan kondisi di
Gedung Dewan,” jelasnya.
“Saya
sebetulnya juga sudah menyiapkan dana sebesar 10 juta sebagai bentuk
kemanusiaan,” sebutnya.
Itet
juga menjelaskan sejak awal sebenarnya Naning tidak memenuhi syarat umum untuk
menjadi Staf Ahli Anggota DPR. Ia menjelaskan Naning hanya memiliki IPK 2,5
sehingga tidak langsung diterima sebagai staf Itet, walau akhirnya ia
mengangkat Naning juga sebagai stafnya.
KESIMPULAN :
DENGAN ADANYA HUKUM PERBURUHAN MAKA HARUSNYA SUDAH TIDAK ADA LAGI
KEKERASAN PADA BURUH. DAN HARUSNYA SUDAH JELAS TATA CARA ATAU ATURAN
TENTANG HUKUM PERBURUHAN. DAN HARUSNYA SEMUA BURUH SUDAH MERASA AMAN
DENGAN ADANYA UNDANG - UNDANG TENTANG PERLINDUNGAN BURUH.
Komentar