Perencanaan Fisik Bangunan
PERENCANAAN FISIK PEMBANGUNAN
PERENCANAAN FISIK PEMBANGUNAN
Perencanaan fisik adalah suatu usaha
pengaturan dan penataan kebutuhan fisik untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia
dengan berbagai kegiatan fisik. Proses perencanaan fisik pembangunan harus
melaksanakan amanat UUD 1945 Amandemen tentang pemilihan umum langsung oleh
rakyat. Perencanaan pembangunan nasional masih dibutuhkan mengingat amanat
Pembukaan UUD 1945 dan kondisi faktual geografis, sosial, ekonomi, dan politik
bangsa Indonesia yang beranekaragam, dan kompleks.
A. SKEMA PROSES PERENCANAAN
STUDI KASUS : PEMBANGUNAN FISIK KURANG PERENCANAAN
Pada awal tahun 2013 ini, Pememrintah
Kabupaten (Pemkab) Bungo telah melakukan evaluasi kepada seluruh Kepala Satuan Kinerja
Perangkat Daerah (SKPD) di lingkungan Pemkab Bungo. Dalam pertemuan tersebut,
wakil Bupati Bungo, H. Mashuri sangat kecewa dengan hasil pembangunan fisik di
Pemkab Bungo.
Menurutnya, pembangunan fisik yang ada
di Pemkab Bungo dikerjakan kurang perencanaan. Sehingga proyek yang dikerjakan
asal-asalan. Bahkan, menurutnya, ada beberapa kepala dinas yang tidak
mengetahui sama sekali hinga proses pembangunan gedung selesai. “Kita sudah
turun dibeberapa tempat,” kata Mashuri, saat melakukan rapat evaluasi program
kerja tahun 2012 lalu. “Saya melihat, kegiatan fisik, khususnya pembangunan
gedung di beberapa SKPD banyak yang amburadul. Bahkan, ada Kadis yang tidak
melihat sampai penyerahan gedung itu dari kontraktor,” ujarnya.
Beberapa waktu lalu memang wabub
melakukan sidak terhadap proyek pembangunan fisik di beberapa tempat. Disanalah
terlihat pembangunan fisik di Pemkab Bung tidak sesuai dengan perencanaan.
“Disini terlihat perencanaannya sangat kurang,” kata dia. Dirinya juga
menyebut, ada gedung yang baru rehab atau di bangun, yang di toiletnya tidak
ada keran air. Hal ini, katanya menunjukkan jika pembangunan tersebut hanya
sekedarnya. Wabup menegaskan, jika proyek harus diselesaikan secara tuntas. “Jangan
satu-satu, pekerjaan itu harus tuntas. Misalnya, kalau memang anggarannya tidak
cukup untuk membuat tipe gedung 46, ya terlebih dahulu buat tipe 36. Jangan
buat yang lebih besar tapi tidak tuntas,” katanya.
Menurutnya, yang terpenting pembuatan
gedung itu tuntas secara keseluruhan. Sehingga tidak amburadul. “Ini ada yang
jendelanya tidak bisa di kunci, pintunya pun demikian. Cat temboknya juga
asal-asalan,” imbuhnya.
Wabup menegaskan, pada tahun 2013 ini,
dirinya tidak ingin melihat kondisi seperti pada tahun 2012 terulang lagi.
Kepala SKPD menurutnya, harus mengecek secara langsung ke lapangan. “Jangan
kepala dinas justru banyak ke luar daerah. Harus imbanglah, antara agenda di
luar dengan kerja di dalam. Sehingga pekerjaan yang ada di dalam tidak
morat-marit,” katanya.
PERAN PERENCANAAN
Peran Perencanaan dalam 4 lingkup
:
LINGKUP NASIONAL
Dalam hubungan ini peranan
Bappenas dengan sendirinya juga sangat penting.
LINGKUP REGIONAL
- Lingkup Nasional
- Lingkup Regional
- Lingkup Lokal
- Lingkup Sektor Swasta
Kewenangan semua instansi
di tingkat pemerintah pusat berada dalam lingkup kepentingan secara
sektoral.
Departemen-departemen yang
berkaitan langsung dengan perencanaan fisik khususnya terkait dengan
pengembangan wilayah antara lain adalah :
- Dept. Pekerjaan Umum
- Dept. Perhubungan
- Dept. Perindustrian
- Dept. Pertanian
- Dept. Pertambangan
- Energi, Dept. Nakertrans.
Perencanaan fisik pada
tingkat nasional umumnya tidak mempertimbangkan distribusi kegiatan
tata ruang secara spesifik dan mendetail.
Tetapi terbatas pada penggarisan
kebijaksanaan umum dan kriteria administrasi pelaksanaannya.
Misalnya:
suatu program subsidi untuk
pembangunan perumahan atau program perbaikan kampung pada tingkat nasional
tidak akan dibahas secara terperinci dan tidak membahas dampak spesifik
program ini pada suatu daerah.
Yang dibicarakan dalam
lingkup nasional ini hanyalah, daerah atau kota yang memenuhi kriteria
yang ditetapkan dan studi kelayakan dalam skala yang luas.
Jadi pemilihan dan penentuan
daerah untuk pembangunan perumahan tadi secara spesifik menjadi wewenang
lagi dari pemerintaan tingkat lokal.
Meskipun rencana pembangunan
nasional tidak dapat secara langsung menjabarkan perencanan fisik dalam
tingkat lokal tetapi sering kali bahwa program pembangunan tingkat nasional
sangat mempengaruhi program pembangunan yang disusun oleh tingkat lokal.
Sebagai contoh, ketidaksingkronan
program pendanaan antara APBD dan APBN, yang sering mengakibatkan kepincangan
pelaksanaan suatu program pembangunan fisik, misalnya; bongkar pasang
untuk rehabilitasi jaringan utilitas kota.
Yang penting dalam hal
ini pengertian timbal balik, koordinatif. Contoh, misalnya ada perencanaan
fisik pembangunan pendidikan tinggi di suatu kota, untuk hal ini, selain
dilandasi oleh kepentingan pendidikan pada tingkat nasional juga perlu
dipikirkan implikasi serta dampaknya terhadap perkembangan daerah tingkat
II dimana perguruan tinggi tersebut dialokasikan.
Ada instansi khusus lainnya
yang cukup berperan dalam perencanaan tingkat regional misalnya otorita
atau proyek khusus. Contoh otorita Batam, Otorita
proyek jatiluhur, DAS.
Saat ini perlu diakui bahwa
sering terjadi kesulitan koordinasi perencanaan. Masalah ini semakin
dirasakan apabila menyangkut dinas-dinas eksekutif daerah dengan dinas-dinas
vertikal. Di Amerika dan Eropa sejak
20 tahun terakhir telah mengembangkan badan-badan khusus darai pemerintah
kota untuk menangani program mota tertentu, seperti program peremajaan
kota (urban renewal programmes). Badan otorita ini diberi
wewenang khusus untuk menangani pengaturan kembali perencanaan fisik
terperinci bagian-bagian kota.
Dewasa ini lingkup skalanya
sudah luas dan hampir tidak terbatas. Badan-badan usaha konsultan
swasta yang menjamur adalah indikasi keterlibatan swasta yang makin
meluas. Semakin luasnya lingkup swasta didasari pada berkembangnya tuntutan
layanan yang semakin luas dan profesionalisme. Kewenangan pihak swasta
yang semakin positif menjadi indikator untuk memicu diri bagi Instansi
pemerinta maupun BUMN. Persaingan yang muncul menjadi tolok ukur bagi
tiap-tiap kompetitor (swasta dan pemerintah) dan berdampak pada peningkatan
kualitas layanan/produk.
Pengertian wilayah dipahami sebagai ruang permukaan bumi dimana manusia
dan makhluk lainnya dapat hidup dan beraktifitas. Sementara itu wilayah
menurut Hanafiah (1982) adalah unit tata ruang yang terdiri atas jarak,
lokasi, bentuk dan ukuran atau skala. Dengan demikian sebagai satu unit
tata ruang yang dimanfaatkan manusia, maka penataan dan penggunaan
wilayah dapat terpelihara. Sedangkan Hadjisaroso (1994) menyatakan bahwa
wilayah adalah sebutan untuk lingkungan pada umumnya dan tertentu
batasnya. Misalnya nasional adalah sebutan untuk wilayah dalam kekuasaan
Negara, dan daerah adalah sebutan untuk batas wilayah dalam batas
kewenangan daerah. Selanjutnya menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992
tentang Penataan Ruang, wilayah diartikan sebagai kesatuan geografis
beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan
berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional.
Struktur perencanaan pembangunan nasional saat ini mengacu pada
Undang-Undang No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Nasional. UU
tersebut mengamanahkan bahwa kepala daerah terpilih diharuskan menyusun
rencana pembangunan jangka menengah (RPJM) dan rencana pembangunan
jangka panjang (RPJP) di daerah masing-masing. Dokumen RPJM ini akan
menjadi acuan pembangunan daerah yang memuat, antara lain visi, misi,
arah kebijakan, dan program-program pembangunan selama lima tahun ke
depan. Sementara itu juga, dengan dikeluarkan UU No.17 Tahun 2007
tentang RPJPN 2005-2025, maka ke dalam – dan menjadi bagian – dari
kerangka perencanaan pembangunan tersebut di semua tingkatan
pemerintahan perlu mengintegrasikan aspek wilayah/spasial. Dengan
demikian 33 provinsi dan 496 kabupaten/kota yang ada di Indonesia harus
mengintegrasikan rencana tata ruangnya ke dalam perencanaan pembangunan
daerahnya masing-masing). Seluruh kegiatan pembangunan harus
direncanakan berdasarkan data (spasial dan nonspasial) dan informasi
yang akurat serta dapat dipertanggungjawabkan.
Sesungguhnya landasan hukum kebijakan pembangunan wilayah di Indonesia terkait dengan penyusunan tata ruang di Indonesia secara umum mengacu pada UU tentang Penataan Ruang. Pedoman ini sebagai landasan hukum yang berisi kewajiban setiap provinsi, kabupaten dan kota menyusun tata ruang wilayah sebagai arahan pelaksanaan pembangunan daerah. Rencana tata ruang dirumuskan secara berjenjang mulai dari tingkat yang sangat umum sampai tingkat yang sangat perinci seperti dicerminkan dari tata ruang tingkat provinsi, kabupaten, perkotaan, desa, dan bahkan untuk tata ruang yang bersifat tematis, misalnya untuk kawasan pesisir, pulau-pulau kecil, jaringan jalan, dan lain sebagainya. Kewajiban daerah menyusun tata ruang berkaitan dengan penerapan desentralisasi dan otonomi daerah. Menindaklanjuti undang- undang tersebut, Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah Nomor 327/KPTS/M/2002 menetapkan enam pedoman bidang penataan ruang, meliputi:
1. Pedoman penyusunan RTRW provinsi.
2. Pedoman penyusunan kembali RTRW provinsi.
3. Pedoman penyusunan RTRW kabupaten.
4. Pedoman penyusunan kembali RTRW kabupaten.
5. Pedoman penyusunan RTRW perkotaan.
6. Pedoman penyusunan kembali RTRW perkotaan.
Mengingat rencana tata ruang merupakan salah satu aspek dalam rencana pembangunan nasional dan pembangunan daerah, tata ruang nasional, provinsi dan kabupaten/kota merupakan satu kesatuan yang saling terkait dan dari aspek substansi dan operasional harus konsistensi. Adanya peraturan perundang-undangan penyusunan tata ruang yang bersifat nasional, seperti UU No. 25 Tahun 2004 dan Kepmen Kimpraswil Nomor 327/KPTS/M/2002 tersebut, kiranya dapat digunakan pula sebagai dasar dalam melaksanakan pemetaan mintakat ruang sesuai dengan asas optimal dan lestari.
Dengan demikian, terkait kondisi tersebut, dokumen rencana tata ruang wilayah (RTRW) yang ada juga harus mengacu pada visi dan misi tersebut. Dengan kata lain, RTRW yang ada merupakan bagian terjemahan visi, misi daerah yang dipresentasikan dalam bentuk pola dan struktur pemanfaatan ruang. Secara rinci dapat dijelaskan sebagai berikut:
Mengingat rencana tata ruang merupakan salah satu aspek dalam rencana pembangunan nasional dan pembangunan daerah, tata ruang nasional, provinsi dan kabupaten/kota merupakan satu kesatuan yang saling terkait dan dari aspek substansi dan operasional harus konsistensi. Adanya peraturan perundang-undangan penyusunan tata ruang yang bersifat nasional, seperti UU No. 25 Tahun 2004 dan Kepmen Kimpraswil Nomor 327/KPTS/M/2002 tersebut, kiranya dapat digunakan pula sebagai dasar dalam melaksanakan pemetaan mintakat ruang sesuai dengan asas optimal dan lestari.
Dengan demikian, terkait kondisi tersebut, dokumen rencana tata ruang wilayah (RTRW) yang ada juga harus mengacu pada visi dan misi tersebut. Dengan kata lain, RTRW yang ada merupakan bagian terjemahan visi, misi daerah yang dipresentasikan dalam bentuk pola dan struktur pemanfaatan ruang. Secara rinci dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. RTRW nasional merupakan strategi dan arahan kebijakan pemanfaatan
ruang wilayah negara yang meliputi tujuan nasional dan arahan
pemanfaatan ruang antarpulau dan antarprovinsi. RTRW nasional yang
disusun pada tingkat ketelitian skala 1:1 juta untuk jangka waktu selama
25 tahun.
2. RTRW provinsi merupakan strategi dan arahan kebijaksanaan pemanfaatan
runag wilayah provinsi yang berfokus pada keterkaitan
antarkawasan/kabupaten/kota. RTRW provinsi disusun pada tingkat
ketelitian skala 1:250 ribu untuk jangka waktu 15 tahun. Berdasar pada
landasan hukum dan pedoman umum penyusunan tata ruang, substansi data
dan analisis penyusunan RTRW provinsi mencakup kebijakan pembangunan,
analisis regional, ekonomi regional, sumber daya manusia, sumber daya
buatan, sumber daya alam, sistem permukiman, penggunaan lahan, dan
analisis kelembagaan. Substansi RTRW provinsi meliputi: Arahan struktur
dan pola pemanfaatan ruang; arahan pengelolaan kawasan lindung dan budi
daya; arahan pengelolaan kawasan perdesaan, perkotaan dan tematik;
arahan pengembangan kawasan permukiman, kehutanan, pertanian,
pertambangan, perindustrian, pariwisata, dan kawasan lainnya; arahan
pengembangan sistem pusat permukiman perdesaan dan perkotaan; arahan
pengembangan sistem prasarana wilayah; arahan pengembangan kawasan yang
diprioritaskan; arahan kebijakan tata guna tanah, air, udara, dan sumber
daya alam lain.
3. RTRW kabupaten/Kota merupakan rencana tata ruang yang disusun berdasar pada perkiraan kecenderuangan dan arahan perkembangan untuk pembangunan daerah di masa depan. RTRW kabupaten/kota disusun pada tingkat ketelitian 1:100 ribu untuk kabupaten dan 1:25 ribu untuk daerah perkotaan, untuk jangka waktu 5–10 tahun sesuai dengan perkembangan daerah.
3. RTRW kabupaten/Kota merupakan rencana tata ruang yang disusun berdasar pada perkiraan kecenderuangan dan arahan perkembangan untuk pembangunan daerah di masa depan. RTRW kabupaten/kota disusun pada tingkat ketelitian 1:100 ribu untuk kabupaten dan 1:25 ribu untuk daerah perkotaan, untuk jangka waktu 5–10 tahun sesuai dengan perkembangan daerah.
DENGAN ADANYA SKEMA PERENCANAAN MAKA
PEMBANGUNAN TERORGANISIR DAN BEKERJA SESUAI PEKERJAAN DAN TEGGANG WAKTU
YANG ADA MAKA PEKERJAAN AKAN SELESAI DENGAN WAKTU YANG SUDAH DITENTUKAN.
DAN PEKERJAAN JUGA SESUAI DENGA ATURAN YANG ADA.
Komentar